close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

28.3 C
Jakarta
Selasa, November 11, 2025

Birokrasi Lotim: Jangan Ada Pohon Mangga di Antara Kita

“Di balik senyum birokrat yang terkesan tenang, ada ketegangan yang menggelora. Mereka tidak hanya takut kehilangan jabatan, tetapi juga kehilangan tempat mereka di tengah perjuangan yang tak tampak.”
—————————————————

Lombok Timur, PorosLombok.com — Menjelang pelantikan pejabat baru di lingkup Pemerintah Kabupaten Lombok Timur (Pemkab Lotim), suasana batin para aparatur sipil negara mulai tak tenang. Aura ketidakpastian menggelayuti lorong-lorong kantor pemerintahan. Wajah-wajah yang biasanya datar kini dihiasi kecemasan.

Ada yang pasrah, menanti nasib seperti daun gugur di tangan angin mutasi. Ada pula yang menggenggam harap, berharap rotasi membawa mereka ke posisi yang lebih strategis. Tapi tak sedikit pula yang merasa gentar—takut akan berakhir di tempat yang tak lazim: berkantor di bawah pohon mangga.

“Ya mudah-mudahan Pak Bupati sesuai dengan yang disampaikan, bahwa tidak akan ada yang berkantor di bawah pohon mangga,” ujar salah satu pejabat Lombok Timur yang enggan disebutkan namanya, Jumat, (25/04).

Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Di kalangan birokrat Lotim, istilah “berkantor di bawah pohon mangga” menjadi simbol nasib buruk: non-job, diparkir tanpa kejelasan, atau tersingkir dari struktur. Trauma masa lalu menjadikan pepohonan sebagai metafora paling jujur tentang ketidakadilan birokrasi.

Namun janji perubahan telah dilontarkan. Beberapa waktu lalu, Wakil Bupati Lombok Timur terpilih, Ir. H. Edwin Hadiwijaya, angkat suara. Dalam diskusi publik bertajuk Fokus Lotim, ia menegaskan bahwa era pemerintahan Iron-Edwin akan menutup ruang bagi mutasi politis dan balas budi pasca Pilkada.

“Kami ingin birokrasi yang profesional. Tidak ada pejabat yang tiba-tiba kehilangan jabatan tanpa alasan jelas. Semua akan bekerja sesuai kompetensinya,” tegas Edwin dalam diskusi yang digelar Sabtu malam (01/02).

Menurut Edwin, birokrasi yang sehat harus berlandaskan sistem, bukan selera. Maka, ia membawa satu senjata utama: sistem Integrated Mutasi (IMUT). Sebuah skema rotasi berbasis transparansi dan kinerja yang diklaim akan menutup celah subjektivitas.

Melalui IMUT, mutasi dan rotasi jabatan tak bisa lagi dilakukan semaunya. “ASN tidak bisa dipindahkan atau diturunkan eselonnya tanpa dasar yang kuat,” ujarnya. Kinerja menjadi acuan, bukan kedekatan politik. Profesionalisme jadi panglima.

Edwin juga menyampaikan keinginan untuk menghapus praktik mutasi politis yang sering muncul setiap kali kepala daerah baru dilantik. “Mutasi dan rotasi harus berbasis kinerja, bukan kepentingan politik. Jadi, tidak ada alasan bagi ASN untuk khawatir kehilangan jabatan hanya karena pergantian kepala daerah,” kata dia.

Pernyataan itu ibarat balsem bagi para pejabat yang resah. Namun di balik janji, selalu ada jeda yang bikin jantung ASN berdetak tak menentu. Realitas birokrasi tak selalu seindah narasi di podium.

Dikutip dari sejumlah media, Bupati Lombok Timur, H. Haerul Warisin—atau yang akrab disapa H. Iron—juga menegaskan bahwa mutasi tetap akan dilakukan. Saat ini, Pemkab masih menunggu lampu hijau dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Tanpa izin pusat, semua rotasi belum bisa dieksekusi.

“Saya sudah usulkan beberapa orang, terutama untuk dinas-dinas yang masih kosong atau yang masih PLT. Mereka perlu segera kita definitifkan,” ujar Iron.

Menurutnya, penetapan pejabat definitif adalah langkah awal yang penting dalam membangun fondasi pemerintahan baru di bawah duet Iron-Edwin. “Itu langkah awal, jadi itu kita lakukan,” ucapnya singkat.

Namun hingga berita ini diturunkan, surat sakti dari Kemendagri belum juga diterima. Sementara itu, kabar burung sudah lebih cepat beredar di antara meja-meja kerja. Nama-nama disebut, kursi-kursi digosipkan, dan spekulasi berseliweran lebih cepat dari surat keputusan.

Beberapa pejabat memilih diam, menjaga diri dari omongan yang bisa disalahartikan. Tapi sebagian lainnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Mutasi bagi mereka bukan sekadar rotasi—melainkan soal eksistensi, harga diri, bahkan penghidupan.

Di tengah kekosongan itu, janji tentang sistem IMUT dan birokrasi profesional menjadi satu-satunya jangkar harapan. ASN menggantungkan nasib mereka pada komitmen sang pemimpin: bahwa tidak akan ada pohon mangga di antara kita.

Sampai mutasi benar-benar dilakukan, satu hal tetap menggantung di benak para pejabat: apakah janji akan ditepati, atau sekadar pepesan kosong dalam aroma mangga yang masam?

(arul/PorosLombok)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERBARU

IKLAN
TERPOPULER