(Lombok Timur, PorosLombok.com) – Enam tahun berlalu sejak gempa dahsyat mengguncang Lombok, namun bagi ratusan siswa SDN 2 Sembalun Bumbung, trauma bencana itu masih membekas dalam setiap langkah menuju sekolah. Gedung yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu kini menjadi simbol harapan yang terkubur.
Di pagi yang dingin, saat embun masih menggantung di pucuk daun, anak-anak bergegas menuju bangunan sekolah yang berdiri di tengah reruntuhan. Wajah-wajah polos mereka tak memancarkan keceriaan, hanya keheningan yang mengusik, seolah alam turut berduka atas kondisi belajar yang jauh dari layak. Dinding retak seakan menangisi nasib penghuninya, menyuarakan kisah pilu pendidikan yang terabaikan.
Sahlun, kepala sekolah, tak kuasa menahan air mata ketika menceritakan penderitaan anak didiknya. “Anak-anak sering bertanya, ‘Kenapa sekolah kita rusak terus?’ Pertanyaan itu menusuk kalbu, meruntuhkan hati saya sebagai pendidik,” ujarnya dengan suara bergetar. Pertanyaan polos itu menyiratkan rasa terlupakan, seolah dunia menutup mata.
Kondisi sekolah bukan sekadar ketidaknyamanan, melainkan ancaman bagi keselamatan jiwa. Lantai becek saat hujan menjadi perangkap bahaya, atap bocor dan dinding nyaris roboh menjadi saksi bisu ketidakpedulian. Di luar sana, teman-teman mereka belajar dalam gedung kokoh, menambah perih hati kecil yang terluka.
Berbagai upaya telah dilakukan, permohonan bantuan diajukan berkali-kali, namun hasilnya nihil. Pemerintah daerah dan pusat seolah tuli terhadap jeritan ini. Mereka hanya menginginkan satu hal: ruang belajar yang aman dan nyaman. Hingga kini, harapan itu masih terombang-ambing.
Namun, di tengah kegelapan ini, secercah harapan mulai berpendar. Janji perbaikan sekolah akhirnya datang, diharapkan dimulai tahun depan berkat inisiatif Happy Hearts Indonesia dan mitra dari Australia. Langkah kecil yang berarti besar, dengan bahan bangunan dari daur ulang sampah plastik, mengajarkan bahwa dari sesuatu yang dianggap remeh, bisa lahir sesuatu yang berharga.
“Kami berharap pihak terkait dapat segera menindaklanjuti usulan kami,” ujar H. Rumelan S.Pd penuh harap. Di matanya, tersirat keinginan agar anak-anak Sembalun belajar di lingkungan layak. Harapan itu sederhana, namun bagi mereka, ini adalah kunci masa depan lebih baik.
Meski harapan mulai menyala, tantangan tetap menghadang. Proses panjang menanti di depan mata. Langkah harus diambil hati-hati, memastikan bangunan baru nanti bukan hanya berdiri megah, tetapi juga melindungi dan memberi rasa aman.
Trauma yang Tak Terlupakan, Mengguncang Hati dan Pendidikan
Kisah SDN 2 Sembalun Bumbung ini menampar kesadaran kita semua. Mengingatkan betapa pentingnya hak pendidikan layak bagi setiap anak Indonesia. Bukan hanya soal bangunan, tetapi juga tentang penghargaan terhadap hak-hak dasar mereka sebagai generasi penerus bangsa.
Di balik semua kesulitan, anak-anak Sembalun tetap menunjukkan semangat tak mudah pudar. Dengan keterbatasan, mereka berusaha mengukir prestasi, seolah ingin membuktikan keterbatasan bukan penghalang meraih cita-cita. Mereka, dengan segala kepolosannya, adalah gambaran keteguhan dan kekuatan harapan.
Dalam setiap langkah kecil menuju sekolah, tersimpan harapan besar untuk masa depan cerah. Setiap buku yang dibuka, setiap pelajaran yang dipahami, adalah investasi bagi masa depan mereka dan bangsa ini. Mereka berharap, suatu hari nanti, bisa belajar di tempat layak, di mana mereka bisa menimba ilmu dengan nyaman dan aman.
Semoga, melalui perjuangan dan harapan baru ini, anak-anak Sembalun dapat meraih masa depan lebih baik, bebas dari trauma dan keputusasaan. Kisah mereka adalah pengingat bagi kita semua, bahwa masih banyak anak-anak di sudut negeri ini yang membutuhkan perhatian dan kepedulian.
Harapan yang kini berpendar di Sembalun adalah awal dari perjalanan panjang menuju masa depan lebih baik. Semoga, dengan kerja sama dan kepedulian berbagai pihak, cita-cita itu terwujud, memberikan kesempatan untuk bermimpi dan meraih bintang. Karena setiap anak berhak atas pendidikan layak, tanpa terkecuali.
Dalam setiap helai angin yang berbisik di Sembalun, tersimpan doa tak pernah putus. Orang tua siswa, meski hidup dalam keterbatasan, tetap menyimpan harapan tak tergoyahkan. Mereka bermimpi anak-anak mereka bisa menapaki jalan lebih baik dari yang mereka lalui. Dengan mata berkaca-kaca, seorang ibu berkata, “Kami hanya ingin anak-anak kami mendapatkan kesempatan adil untuk belajar, seperti anak-anak lain di negeri ini.”
Di ujung harapan ini, sebuah pertanyaan besar menggantung di udara: Kapankah jeritan hati anak-anak Sembalun akan didengar sepenuhnya? Kisah ini seharusnya menjadi pengingat bagi para pemangku kebijakan dan masyarakat luas bahwa pendidikan adalah hak asasi setiap anak.
Dengan perhatian dan tindakan nyata, bukan mustahil bila reruntuhan ini suatu hari nanti berubah menjadi pondasi kokoh bagi generasi masa depan penuh potensi. Semoga perjuangan ini menjadi awal perubahan lebih besar, bukan hanya di Sembalun, tetapi di seluruh negeri.
(Arul/PorosLombok.com)