Lombok Timur, PorosLombok.com –
Mahruf (34)Tahun, seorang guru yang mengajar di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta di Desa Rarang tengah Kecamatan Terara Kabupaten Lombok Timur. Mahruf merupakan satu dari ratusan guru Swasta yang tidak bisa mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2023.
Mau tidak mau, keadaan inipun harus diterimanya dengan ikhlas, walaupun terkadang ia merasa dibeda-bedakan dengan teman-teman sejawatnya yang mengabdi di Sekolah Negeri. “Mau gimana lagi kita tidak ada peluang untuk tes,” kata Makruf kepada Poros Lombok Siang itu, Senin (27/11).
Pengabdian Mahruf sebagai seorang Pahlawan tanpa tanda jasa, ia geluti sejak 2008 silam, tahun demi tahun ia lewati dengan harapan kedepannya mampu memperbaiki kehidupan keluarganya, namun peluang itupun tak kunjung datang, walaupun, boleh dibilang usianya sudah masuk kepala tiga. “Sabar saja mungkin belum ada rizki dari tuhan,” kata Mahruf, sembari menghela nafas.
Keadaan ini tak membuatnya patah semangat untuk bekerja, walaupun gaji yang diterimanya tak seberapa, yang bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, melihat anak didiknya tumbuh jadi orang-orang yang pandai itu sudah cukup baginya, padahal kalau dilihat Guru merupakan salah satu profesi yang berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar (UUD 1945).
Yang paling membuatnya sedih, yang diperbolehkan mengikuti seleksi PPPK hanya guru yang sudah terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sehingga rasanya tidak mungkin baginya untuk ikut serta dalam seleksi tersebut walaupun masa kerjanya puluhan tahun.
Begitu juga dengan Program Pemerintah Pusat untuk Guru swasta melalui Departemen Agama, yakni Inpasing, itupun tidak bisa diikutinya, karena diprioritaskan hanya untuk guru yang sudah mendapatkan sertifikasi, “jadi saya bingung mau gimana lagi,”keluhnya.
Dengan keadaan seperti ini semakin sulit rasanya untuk dirinya ikut serta dalam Program-Program Pemerintah, karena terlalu jauh kesenjangan antar guru, sehingga dia berpikir mungkin memang sudah nasibnya, akhirnya hanya kata pasrah yang bisa diucapkan. “seharusnya kalau sudah sertifikasi di stop dulu infasing berikan kesempatan kepada kami yang belum dapat apa-apa,” ujarnya.
Makruf pun bercerita, bahwa gaji yang diterimanya hanya 150 ribu dalam satu bulan, sehingga, tentu tidak mencukupi biaya kebutuhan hidup sehari-hari, terkadang sesekali terlintas dibenaknya untuk berhenti berkerja namun melihat anak didiknya yang bermain riang gembira menjadi kebanggaan baginya.
ia berharap, kedepannya pemerintah bisa memberikan kesetaraan kepada para guru swasta untuk mengikuti seleksi PPPK, bukan karena tidak ikhlas bekerja, namun, sebagai bekalnya mengabdi, kerena sebagai manusia biasa dan seorang kepala keluarga tenaganya tidak hanya dibutuhkan oleh seorang murid, akan tetapi ada wanita dengan anaknya yang harus dinafkahi.”janganlah beda-bedakan kami yang di Sekolah Swasta dengan Negeri, kami juga siap bersaing,” pungkasnya.
Potret Guru Swasta di NTB
Guru salah satu profesi yang berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas dan berkualitas, namun tak jarang terdengar rintihan para guru dipandang sebelah mata, berbagai perlakuan tidak baik, seperti intimidasi dan sebagainya sering mereka alami.
Peran serta seorang guru belum dihargai maksimal oleh negara, baik dari segi kesejahteraan yang masih jauh dari kata tersebut, banyak guru yang harus rela bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan mereka tak jarang harus berhutang, sembari menunggu honor yang tak seberapa.
Inilah Potret Guru di NTB, yang terus berjuang demi mencerdaskan kehidupan bangsa, ditengah tuntutan nafkah keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Cerita Mahruf,satu dari rintihan ratusan guru yang mengabdi di sekolah Swasta di Provinsi yang Mengusung Slogan Maju Melaju
(arul/ Poros Lombok)