Lombok Timur, PorosLombok.com – Malam itu, langit di atas Desa Loyok terlihat bersih. Angin berembus pelan, menyapu dedaunan di sekitar Musholla kecil yang diterangi cahaya lampu temaram. Di dalamnya, suara merdu Tembang Hikayat menggema, melantun syahdu dari bibir seorang pria tua yang duduk bersila.
Matanya terpejam, suaranya naik turun, seolah sedang membawa seluruh jamaah menyelami kisah suci yang ia lantunkan. Di sampingnya, seorang pria lain bertugas menerjemahkan bait-bait hikayat itu ke dalam bahasa Sasak. Sebuah tradisi yang sudah hidup berabad-abad di tanah ini, mengisahkan perjalanan suci Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW.
Di sudut ruangan, Sumardi, tokoh masyarakat Desa Loyok, menyaksikan momen itu dengan mata berkaca-kaca. Ada kebanggaan, ada haru. Baginya, malam-malam seperti ini adalah pengingat bahwa Islam di tanah Sasak tak hanya diwariskan melalui kitab-kitab, tetapi juga melalui suara, melalui alunan yang menyentuh hati.
Bagi masyarakat Sasak, Tembang Hikayat bukan sekadar nyanyian. Ia adalah doa, pelajaran, sekaligus pengikat zaman. Dalam setiap baitnya, terkandung kisah penuh hikmah—tentang perjalanan Rasulullah menembus langit, bertemu para nabi, dan menerima perintah salat dari Allah.
“Dulu, ini adalah cara orang tua kami mengajarkan Islam,” ujar Sumardi, suaranya pelan namun penuh makna. “Kami mendengar, lalu mengingat. Bait demi bait, pesan-pesan itu tertanam di hati.”
Di masa lalu, hampir setiap rumah di Desa Loyok mengenal Tembang Hikayat. Anak-anak tumbuh dengan mendengar lantunannya sebelum tidur. Orang tua mereka mendendangkannya dengan penuh penghayatan, bukan sekadar untuk mengenang sejarah, tetapi juga untuk memastikan cahaya Islam tetap menyala dalam kehidupan mereka.
Namun kini, Sumardi tak bisa menutupi kegelisahannya. Perlahan tapi pasti, tradisi ini mulai terpinggirkan. Di era digital seperti sekarang, generasi muda lebih akrab dengan gawai ketimbang dengan hikayat yang dulu mengisi malam-malam di desa ini.
“Anak-anak sekarang lebih suka menonton video di ponsel. Tidak banyak yang bisa membaca hikayat lagi,” ujarnya dengan nada getir.
Di acara peringatan Isra Mikraj ini, ia melihat bahwa yang hadir kebanyakan adalah mereka yang sudah berusia lanjut. Anak-anak muda hanya sedikit. Beberapa di antaranya lebih banyak menunduk, sibuk dengan layar telepon genggam.
“Kalau begini terus, siapa yang akan melanjutkan?” gumamnya.
Menjaga Warisan, Menjaga Iman
Meski begitu, Sumardi tak ingin menyerah. Ia bersama beberapa tokoh masyarakat dan ustaz setempat mulai mencari cara agar Tembang Hikayat tetap hidup.
Mereka mengajarkan hikayat di majelis taklim, memasukkannya ke dalam pelajaran di TPQ nya , bahkan merekam pembacaannya agar bisa didengarkan ulang oleh generasi muda.
Beberapa pesantren di Lombok Timur juga mulai menghidupkan kembali tradisi ini. Para santri diajak belajar membaca hikayat, bukan hanya sebagai bentuk apresiasi budaya, tetapi juga sebagai bagian dari syiar Islam.
Di tengah semua itu, Sumardi tetap berharap. Baginya, Tembang Hikayat adalah nyawa yang harus dijaga.
“Kalau ini hilang, bukan hanya budaya kita yang lenyap. Tapi juga cara kita memahami Islam dengan cara yang paling dekat di hati,” katanya lirih.
Malam semakin larut, tetapi Tembang Hikayat masih menggema di langgar kecil itu. Suaranya menembus dinding-dinding rumah, mengalun hingga ke pelosok desa.
Di luar, bintang-bintang berkelip, seolah turut menyaksikan peristiwa yang sama—peristiwa yang telah berlangsung selama berabad-abad, yang kini bergantung pada tangan-tangan yang masih mau menjaganya.
Dan selagi masih ada suara yang bersedia melantunkannya, Tembang Hikayat akan terus hidup. Tidak hanya sebagai warisan, tetapi sebagai cahaya yang menerangi hati umat di tanah Sasak.
Arul | PorosLombok