(PorosLombok.com) – Sidang dugaan korupsi pembangunan NTB Convention Center (NCC) memasuki babak tuntutan. Mantan Sekda NTB, Rosiady Husaeni Sayuti, menghadapi ancaman 12 tahun penjara serta denda Rp500 juta, subsider enam bulan kurungan.
Tuntutan dibacakan Jaksa Penuntut Umum Ema Muliawati di Pengadilan Tipikor Mataram, Jaksa menyatakan Rosiady terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Senin (29/09).
Menurut jaksa, kerugian negara dari proyek NCC mencapai Rp15,2 miliar. Rinciannya, hilangnya hak penerimaan bangunan pengganti Laboratorium Kesehatan Masyarakat senilai Rp7,2 miliar dan imbalan tahunan dari skema bangun guna serah (BGS) Rp8 miliar.
Meski menuntut pidana berat, jaksa tidak membebankan uang pengganti kepada Rosiady. Uang pengganti dialihkan kepada mantan Direktur PT Lombok Plaza, Dolly Suthajaya Nasution.
Fakta persidangan menunjukkan peta berbeda. Ahli keuangan negara Dr. Eko Sembodo menegaskan pembangunan NCC sepenuhnya menggunakan dana swasta.
“Kerugian negara harus nyata, pasti, dan tercatat dalam neraca. Dalam kasus ini, tidak ada satu rupiah pun dari APBD maupun APBN yang dipakai,” kata Eko.
Ahli pidana Dr. Chairul Huda menambahkan, kasus ini lebih tepat dipandang sebagai persoalan administratif atau perdata.
“Negara justru menerima dua gedung, Labkesda dan PKBI. Kalau ada ketidaksesuaian perjanjian, itu wanprestasi, bukan korupsi. Tidak ada bukti terdakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain,” ujarnya.
Kesaksian mantan Gubernur NTB, TGB M. Zainul Majdi, memperkuat fakta tersebut. Ia menegaskan tidak ada aliran dana dari PT Lombok Plaza ke Rosiady maupun sebaliknya.
Rosiady sendiri menegaskan tidak menerima keuntungan pribadi dari proyek NCC. Motif utama tindak pidana korupsi adalah memperkaya diri sendiri.
“Dalam perkara ini, motif itu sama sekali tidak terlihat,” tegas Chairul Huda.
Dengan adanya perbedaan tajam antara tuntutan jaksa dan fakta persidangan, sidang kini memasuki babak krusial. Jaksa tetap bersandar pada angka Rp15,2 miliar, sementara bukti persidangan menegaskan tidak ada kerugian negara maupun keuntungan bagi terdakwa.
(Redaksi/PorosLombok)