(PorosLombok.com) – Program Makan Bergizi (MBG) kembali disorot setelah kasus keracunan muncul di sejumlah daerah. Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menilai akar masalah ada pada sistem yang amburadul dan lemahnya pengawasan.
Melansir KompasTV, Trubus menyebut pemerintah terlalu fokus memperbanyak dapur penyelenggara, sementara aspek kualitas pelayanan terabaikan.
“Fokusnya masih kuantitas, bukan kualitas makanan maupun tata kelola,” ujar Trubus, Kamis (25/9).
Ia menjelaskan sebagian besar dapur penyedia tidak berpengalaman menangani ribuan porsi. Hal itu membuat standar kebersihan dan higienitas tidak terpenuhi, sehingga rawan menimbulkan masalah bagi siswa penerima.
“Banyak yang baru berdiri langsung diminta masak ribuan porsi, padahal keterampilan dasar saja belum memadai,” tegasnya.
Trubus juga menyinggung lemahnya kontrol terhadap pemasok bahan makanan. Ia mencontohkan kasus di Banggai, di mana ikan yang dipakai tidak layak konsumsi, hingga di daerah lain ditemukan makanan basi bahkan berbelatung.
“Kalau bahan dasarnya bermasalah, hasil akhirnya jelas berbahaya,” katanya.
Selain itu, keberadaan tenaga ahli gizi yang seharusnya mengawasi kelayakan makanan juga dipertanyakan. Menurut Trubus, kasus berulang membuktikan pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Publik bisa curiga, para ahli ini sebenarnya bekerja optimal atau tidak,” ujarnya.
Ia menegaskan, tanpa sanksi hukum, program MBG akan terus menjadi ajang coba-coba. Padahal, kata dia, dana yang dipakai berasal dari masyarakat sehingga harus ada pertanggungjawaban jelas.
“Kalau tidak ada hukuman, yang dikejar hanya target. Anak-anak yang jadi korban,” imbuhnya.
Trubus mendorong investigasi menyeluruh, khususnya di daerah yang berulang kali bermasalah seperti Bandung Barat. Ia juga mengingatkan aturan teknis yang diterbitkan Badan Gizi Nasional (BGN) harus benar-benar dipatuhi.
“Kalau di lokasi sama terjadi lagi, artinya ada problem serius yang harus dibongkar,” pungkasnya.
(Redaksi/PorosLombok)