Lombok Timur, PorosLombok.com – Langit di atas Pelabuhan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, tampak kelabu sejak pagi 15 Mei 2025. Bukan karena cuaca, melainkan kepulan amarah yang datang dari ribuan demonstran.
Mereka memadati jalan utama pelabuhan, menutup akses vital yang menghubungkan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Dari segala penjuru, massa menuntut satu hal: Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) harus segera terbentuk.
Sebelum aksi Wahyu Kawiriyan mengatakan bahwa PPS bukan sekadar cita-cita administratif. Ini soal martabat, soal wilayah yang terlalu lama merasa dianaktirikan oleh pusat kekuasaan di Mataram.
Wahyu mengisahkan pengalaman getir seorang ibu di Sumbawa Barat yang terpaksa menyewa taksi online demi membawa pulang jenazah bayinya. Tak mampu membayar ambulans rumah sakit provinsi.
“Kalau ini bukan penghinaan terhadap martabat rakyat Sumbawa, lalu apa?” katanya.
Tak hanya kemiskinan yang disorot. Wahyu juga menyentil lemahnya pengawasan tenaga kerja. Pemuda lokal menganggur, sementara buruh dari luar daerah datang tanpa kontrol.
“Jika PPS berdiri, pengawasan lebih dekat, lapangan kerja terbuka, dan kesejahteraan bisa diperjuangkan langsung,” ujarnya.
Di sisi lain, suara tandingan tak kalah lantang datang dari Lombok. Koalisi Aktivis Lombok Bersatu menyatakan penolakan keras terhadap metode perjuangan yang dilakukan. Bagi mereka, blokade Poto Tano bukan perjuangan, tapi pemaksaan kehendak. Pelabuhan, kata mereka, bukan tempat main-main.
“Stop blokade Poto Tano! Jangan sakiti rakyat. Ini urat nadi logistik dan transportasi masyarakat,” tegas Gita Purnadi, Koordinator Koalisi.
Dalam pernyataan sikapnya pada 12 Mei. Ia menyebut bahwa aksi tersebut berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak: sembako terlambat, pasien tak sampai rumah sakit, dan bantuan sosial tertahan di pelabuhan.
Gita menekankan, pihaknya tidak anti terhadap aspirasi pemekaran. Namun, ia keberatan jika perjuangan dibungkus dengan tindakan yang melanggar hukum.
“Kami akan kawal isu ini sampai tuntas, demi kemanusiaan dan keutuhan sosial NTB,” katanya. Koalisi ini berisi lintas tokoh dari berbagai organisasi sipil di Lombok.
Blokade itu sendiri berlangsung selama berjam-jam. Dari pagi hingga sore, truk logistik, angkutan umum, dan kendaraan pribadi mengular tanpa bisa bergerak. Sopir mengeluh, penumpang gelisah.
“Saya bawa telur dari Bali. Kalau kelamaan, bisa rusak semua. Ini kerugian besar,” ujar Dede, sopir truk, dengan nada putus asa.
Abdul Salam, sopir travel dari Bima, mengaku membawa penumpang sakit yang kini terjebak di jalan. “Sudah dua jam tertahan. Ini sangat merepotkan. Harusnya ada kebijakan agar kendaraan tertentu bisa lewat,” ujarnya. Beberapa penumpang mulai panik, sopir mulai emosi.
Situasi di lapangan nyaris tak terkendali. Terik matahari tak menyurutkan amarah massa. Teriakan “PPS harga mati!” membahana di sela-sela lagu-lagu perjuangan yang diputar dari pengeras suara. Aksi ini dipimpin oleh Aliansi Masyarakat Pulau Sumbawa, gabungan tokoh dan orator dari Dompu, Bima, Sumbawa, dan Sumbawa Barat.
Di tengah kepungan massa, muncul suara dari Jakarta. Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, melakukan video call langsung kepada para tokoh aksi. Dalam sambungan itu, ia menyatakan komitmennya memperjuangkan PPS.
“Saya menjaminkan diri saya, selama hidup dan punya kesempatan, akan berdiri di depan memperjuangkan Provinsi Pulau Sumbawa,” ujarnya, dikutip dari DetikNTB.
Supratman menyebut, jika moratorium pemekaran dicabut, ia akan memastikan PPS masuk dalam daftar prioritas. “Desain DOB akan dikaji oleh Kemendagri, dan saya akan kawal serius,” ucapnya. Namun ia mengingatkan: aspirasi boleh disuarakan, tapi ketertiban harus dijaga.
“Bantu aparat keamanan, jaga kondusifitas. Momentum ini harus dijaga, bentuk satu kesatuan seluruh Pulau Sumbawa, bersatu untuk PPS,” katanya. Ia juga memperingatkan agar massa tidak merusak fasilitas umum dan tidak merugikan perekonomian masyarakat sekitar.
Bagi para demonstran, ini bukan pertama kalinya janji ditebar. Sejak wacana pemekaran mencuat lebih dari satu dekade lalu, Pulau Sumbawa seperti jalan di tempat. Kekayaan emas di Dompu dan tambang besar di Sumbawa Barat tak cukup membuat suara mereka didengar di pusat.
“Kami ini bukan pendatang. Kami tuan rumah di tanah sendiri,” tegas Kahirul Iman, orator dari Dompu. “Kami tidak ingin memusuhi Lombok, tapi kami ingin mengatur rumah tangga kami sendiri.” Menurutnya, NTB telah timpang terlalu lama. Kini saatnya berpisah dengan damai.
Di sisi lain, kekhawatiran mengemuka. Jika pola blokade seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin NTB akan terbelah secara sosial, bukan hanya administratif. Solidaritas antara dua pulau besar bisa retak, apalagi jika isu ini digoreng oleh kepentingan politik.
Untuk sementara, jalur di Poto Tano kembali dibuka. Tapi luka sudah telanjur menganga. Aspirasi pemekaran belum terwujud, dan masyarakat hanya membawa pulang janji. Di tengah selat yang memisahkan Lombok dan Sumbawa, gelombang baru bisa datang kapan saja.
NTB kini berdiri di persimpangan. Di satu sisi, desakan untuk membentuk provinsi baru makin menguat. Di sisi lain, tuntutan menjaga stabilitas dan keutuhan sosial tak bisa diabaikan. Poto Tano menjadi saksi—bahwa di titik nadinya, Nusa Tenggara Barat mulai retak.
(arul / PorosLombok)