(PorosLombok.com) – Sidang ke-22 perkara dugaan korupsi pembangunan Nusa Tenggara Convention Center (NCC) kembali menyingkap fakta baru di ruang persidangan. Senin (22/09).
Ahli pidana Dr. Chairul Huda yang dihadirkan oleh pihak terdakwa memberikan pandangan hukum yang cukup menohok terhadap dakwaan jaksa penuntut umum.
Ia menilai tuduhan korupsi yang diarahkan dalam perkara ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena unsur tindak pidana tidak terpenuhi.
Menurut Chairul, tindak pidana korupsi dapat dipastikan hanya apabila terdapat dua hal pokok. Pertama, adanya tindakan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Kedua, muncul kerugian negara yang bersifat nyata dan dapat dihitung secara pasti.
“Kerugian negara itu harus jelas berupa berkurangnya aset, uang, atau surat berharga milik negara. Dalam perkara ini justru negara memperoleh dua gedung baru, yakni Labkesda dan PKBI,” tegas Chairul di hadapan majelis hakim.
Lebih lanjut, Chairul menilai jika terdapat perbedaan antara isi kontrak dengan realisasi pembangunan, hal itu semestinya diselesaikan melalui jalur administrasi atau perdata.
Menurutnya, permasalahan seperti ini tidak bisa serta-merta dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
“Kalau kontraknya tidak dipenuhi, cukup dibatalkan saja. Menyeretnya ke ranah pidana jelas merupakan langkah yang salah kaprah,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa sepanjang pemeriksaan perkara, tidak ditemukan adanya bukti yang menunjukkan adanya aliran dana kepada terdakwa maupun pihak lain.
Hal ini membuat dakwaan semakin tidak logis karena inti dari tindak pidana korupsi adalah pencarian keuntungan pribadi.
“Korupsi itu dilakukan orang untuk mendapatkan keuntungan. Tapi dalam perkara ini, tidak ada sepeserpun uang yang diterima terdakwa,” ujarnya.
Chairul bahkan mempertanyakan dasar pemikiran jaksa dalam menyebut adanya tindak pidana pada kasus NCC. Ia menilai logika hukum yang dipakai tidak selaras dengan fakta persidangan maupun ketentuan dalam undang-undang.
“Kalau tidak ada uang negara yang hilang dan tidak ada kekayaan yang bertambah, lalu di mana letak korupsinya?” sindir ahli pidana tersebut.
Pandangan itu diperkuat oleh penasihat hukum terdakwa, Rofiq Ashari. Ia menegaskan bahwa seluruh tuduhan mengenai kerugian negara senilai Rp15 miliar hanya bersifat asumsi tanpa bukti yang sahih.
Menurutnya, persidangan sudah membuktikan bahwa tidak ada dana publik yang digunakan dalam proyek NCC.
“Tidak ada APBN atau APBD yang keluar. Tidak ada aset bertambah, tidak ada keuntungan pribadi yang diperoleh. Semua saksi yang dihadirkan justru menguatkan fakta itu,” jelasnya.
Di sisi lain, terdakwa Rosiady Husaenie Sayuti menyampaikan rasa syukur atas jalannya sidang yang menurutnya semakin menunjukkan titik terang.
Ia menilai keterangan ahli semakin memperkuat keyakinannya akan adanya putusan yang seadil-adilnya.
“Alhamdulillah, saya optimis keputusan hakim nantinya akan menjadi keputusan terbaik bagi saya,” ucap Rosiady.
Rangkaian fakta persidangan tersebut memperlihatkan bahwa perkara NCC lebih tepat dipandang sebagai sengketa administrasi dibanding tindak pidana korupsi.
Tidak ada kerugian negara, tidak ada uang publik yang hilang, dan tidak ada keuntungan pribadi yang diperoleh terdakwa maupun pihak lain.
(redaksi/PorosLombok)