close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

30.5 C
Jakarta
Selasa, Oktober 7, 2025

Lombok 1965: Tangisan di Balik Riak Berdarah

(PorosLombok.com) -Di balik keindahan Pulau Lombok yang tenang, tahun 1965 menyimpan kisah kelam yang takkan pernah terlupakan. Masyarakat yang selama ini hidup dalam harmoni tiba-tiba dihadapkan pada ketegangan yang mengancam kedamaian. Riak-riak kecil dari Pulau Jawa mulai merembes ke tanah Sasak, menciptakan kecemasan yang menghantui setiap sudut desa.

Ketika peringatan ulang tahun ke-45 Partai Komunis Indonesia (PKI) digelar di Lapangan Malomba, Ampenan, ribuan kader berkumpul, membawa serta semangat yang menggetarkan. Mereka datang dari berbagai penjuru, mengusung visi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegang masyarakat setempat, yang dikenal sebagai basis Masyumi.

Di tengah kekacauan ini, Drs. Mujtahid, seorang tokoh muda, mencatat peristiwa penting dalam bukunya. Ia menggambarkan bagaimana kaum muda Islam Lombok merespons ancaman PKI dengan membentuk Gerakan Muda Islam. Dalam suasana yang sarat ketegangan, mereka merencanakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai lambang perlawanan.

Hari perayaan itu tiba, dan Lapangan Mataram dipenuhi oleh gelombang manusia. Rasa takut dan marah bercampur aduk di wajah-wajah mereka. Pawai tersebut bukan hanya sekadar ritual keagamaan; ia menjadi simbol keberanian dan harapan bagi masyarakat yang terancam.

Namun, ketegangan yang melanda tidak mereda. Memasuki awal September, teriakan-teriakan provokatif dari barisan PKI semakin sering terdengar, menambah rasa cemas yang menghimpit dada setiap orang. Masyarakat merasakan bahwa ancaman itu nyata dan semakin mendekat.

Puncak dari semua ketegangan itu terjadi pada malam 30 September 1965. Penculikan dan pembantaian tokoh nasional di Lubang Buaya mengguncang seluruh bangsa, melahirkan duka yang mendalam dan kemarahan yang membara. Rasa kehilangan menyelimuti segenap lapisan masyarakat.

Di Mataram, kemarahan itu tumbuh menjadi bara yang tak terpadamkan. Para pemuda berkumpul di Wisma Daerah, menyiapkan diri untuk menyerbu rumah-rumah aktivis PKI. Dalam keputusan ini, mereka terpaksa mengorbankan kedamaian demi menghentikan teror yang mengancam hidup mereka.

Malam itu, tekad membara dalam hati setiap pemuda. Mereka tahu bahwa langkah yang diambil bisa berujung pada kekerasan, tetapi rasa takut akan masa depan yang kelam lebih kuat dari perasaan ragu. Dalam benak mereka, ini adalah pertarungan untuk mempertahankan nilai-nilai yang mereka yakini.

Ketika 16 Oktober tiba, Lapangan Mataram dipenuhi oleh sorak-sorai. Apel besar digelar untuk menuntut pembubaran PKI dan menghapuskan teror yang telah lama menghantui. Suasana penuh harapan dan semangat mengalir di antara massa, seolah-olah mereka memiliki kekuatan untuk mengubah nasib.

Namun, di balik semangat itu, ada bayang-bayang yang menghantui. Pembantaian tokoh-tokoh PKI di berbagai tempat menorehkan luka yang dalam dalam sejarah. Setiap nyawa yang diambil meninggalkan jejak kelam di hati masyarakat, menandai pergeseran dari harmoni menuju kekacauan.

Di kawasan Rembiga, kemarahan rakyat menemukan pelampiasannya. Dalam kegelapan malam, suara-suara jeritan dan tangisan menggema, menciptakan suasana yang menyayat hati. Para pelaku pembantaian merasa seolah mereka sedang melakukan tindakan yang benar, tetapi di balik itu, ada rasa sakit yang abadi.

Kisah Lombok 1965 adalah pengingat betapa rapuhnya harmoni yang bisa terkoyak oleh perbedaan ideologi. Di setiap sudut kota, ada cerita tentang kehilangan, rasa sakit, dan perjuangan. Luka ini mungkin takkan pernah sepenuhnya sembuh, namun ia mengajarkan pentingnya menjaga persatuan di tengah ancaman perpecahan.

Sejarah Lombok 1965 menggambarkan sebuah tragedi yang tak hanya menimpa satu kelompok, tetapi seluruh masyarakat. Dalam setiap tawa yang hilang, ada air mata yang terpendam, menantikan pengakuan atas apa yang telah terjadi.

Hari ini, saat kita mengenang kembali peristiwa itu, kita diingatkan untuk tidak hanya melihat ke depan, tetapi juga menghormati masa lalu. Agar sejarah kelam ini menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang, kita harus berkomitmen untuk membangun kembali jembatan yang pernah runtuh dan menjaga persatuan di tengah perbedaan.

(Arul/PorosLombok)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERBARU

IKLAN
TERPOPULER