Oleh: Dr. Mugni Sn, M.Pd., M.Kom (Direktur Cendekia Institut)
Opini (PorosLombok.com) — Dua pekan setelah status Kejadian Luar Biasa (KLB) Makan Bergizi Gratis (MBG) di Bandung Barat dicabut, kasus serupa kembali terjadi. Ratusan siswa keracunan pada Senin, 13 Oktober, diduga akibat makanan basi yang dimasak sejak pukul 23.00 WIB untuk 3.600 siswa dari dapur penyedia (SPPG) tanpa Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).
Masakan yang dibuat tengah malam tentu tak mungkin segar saat pagi. Kondisi inilah yang diduga kuat memicu keracunan massal. Usai kejadian, para pelaksana saling lempar tanggung jawab—mulai dari menyalahkan air hujan, pemasok bahan, hingga keterlambatan penerbitan SLHS oleh dinas kesehatan.
Lebih ironis, Badan Gizi Nasional (BGN) justru mengembalikan Rp70 triliun ke Kementerian Keuangan karena tidak mampu menyerap anggaran perluasan penerima manfaat MBG. Padahal, Presiden menargetkan 80 juta penerima pada akhir 2025. Keterlambatan itu disebabkan minimnya SPPG siap pakai, lemahnya modal investor, serta kekhawatiran terhadap maraknya kasus keracunan.
SPPG yang bermasalah di Bandung Barat kini dihentikan sementara. Mereka diwajibkan memenuhi ketentuan sebelum kembali beroperasi, termasuk kepemilikan SLHS dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kementerian Kesehatan bahkan mengimbau percepatan proses sertifikasi tanpa mengabaikan standar higienitas. Jika tetap tidak layak, dapur harus ditutup, yang berarti menunda pemerataan penerima manfaat MBG.
Fakta menunjukkan, kasus keracunan tidak hanya terjadi di Jawa Barat. Lombok Barat, Sumbawa Barat, dan Lombok Timur juga pernah mengalami hal serupa. Di Lombok Timur, tim Satgas MBG bahkan menemukan indikasi diversifikasi menu yang tidak sesuai. Hasil investigasi menyimpulkan bahwa makanan MBG harus segera dikonsumsi setibanya di sekolah agar tidak basi. Guru diminta ikut mendistribusikan dan mencicipinya — sebuah sinyal kuat bahwa waktu masak terlalu dini, bahkan sejak pukul 23.00 WITA.
Rantai distribusi yang panjang, penyimpanan bahan mentah yang tidak higienis, serta proses pencucian tanpa air memadai menjadi penyebab klasik keracunan. Karena itu, berbagai pihak — mulai dari ahli gizi, anggota DPR RI, hingga pemerhati pendidikan — mengusulkan agar MBG dikelola langsung oleh dapur atau kantin sekolah.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, turut mendorong langkah ini. Ia mencontohkan keberhasilan sekolah berasrama dan pesantren yang menjalankan sistem “makan berjamaah pagi, siang, malam” tanpa kasus keracunan. Konsep ini efisien, segar, dan hemat. Tidak ada lagi makanan basi atau kotak makan seharga Rp75 ribu per anak.
Penerapan MBG berbasis dapur sekolah bukan sekadar efisiensi, tapi juga keadilan. Setelah sembilan bulan berjalan, masih banyak siswa yang belum merasakan manfaat program karena keterbatasan SPPG dan minimnya investor. Beberapa dapur bahkan ditutup karena gagal memenuhi syarat higienitas.
Solusinya sederhana: bangun dapur di setiap sekolah. BGN dapat menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama untuk meluncurkan gerakan nasional “Dapur Sekolah”. Pembangunan bisa disesuaikan dengan kapasitas murid dan lahan yang tersedia. Perhitungan teknis pun mudah; luas dapur tinggal menyesuaikan jumlah siswa.
Guru ikut berperan penting dalam pengawasan dan distribusi makanan. Mereka bisa makan bersama murid, membangun kedekatan, sekaligus menanamkan nilai kebersamaan. MBG pun kembali pada semangat awalnya: Makan Siang Bergizi Gratis (MSBG), bukan sekadar proyek pengadaan.
Pemerintah daerah harus memimpin gerakan ini. Bupati atau wali kota bisa mengerahkan dinas terkait — PUPR, Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Pendidikan — untuk berkolaborasi. Dalam waktu satu bulan, seluruh sekolah bisa memiliki dapur layak.
Tenaga kerja pun tersedia. Berdasarkan aturan, satu SPPG mempekerjakan 50 orang untuk 3.500 sasaran. Maka, dengan dapur sekolah, rasio tenaga kerja bisa diatur lebih efektif sesuai jumlah murid. BGN tinggal menyalurkan dana langsung ke rekening khusus sekolah dengan pengawasan ketat dari pemerintah daerah.
Ahli gizi dari puskesmas berperan menyusun menu mingguan dengan perhitungan kalori yang tepat, sementara pengawasan dilakukan secara berkelanjutan. Dengan begitu, tujuan MBG dapat tercapai maksimal — seluruh anak mendapatkan gizi cukup tanpa risiko keracunan.
Bangunan dan peralatan SPPG lama tidak perlu mubazir. Pemerintah bisa mengalihfungsikan aset tersebut menjadi gudang pangan atau armada logistik Koperasi Merah Putih. Tidak ada pihak dirugikan, dan dana publik tetap bermanfaat.
Jika dapur sekolah dijalankan dengan disiplin dan transparansi, target 82 juta penerima manfaat bukan mimpi. Anak-anak makan sehat, guru terlibat langsung, dan negara tidak lagi dipusingkan kasus keracunan massal.
MBG harus kembali ke esensi: gizi untuk anak bangsa, bukan proyek bagi investor.
Wallahualam bissawab.
(*/porosLombok)



















