close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

27.9 C
Jakarta
Minggu, Desember 28, 2025

Pancor adalah Pengempokan Air, dan Kita Semua adalah Alirannya

(PorosLombok.com) – Bagi masyarakat Nahdlatul Wathan dan para pencinta ilmu, Pancor bukan sekadar sebuah wilayah di Lombok Timur. Ia adalah pusat nilai, tempat ruh perjuangan bermula, dan sumber keberkahan yang tak pernah kering sejak awal abad ke-20.

Dalam bahasa Sasak, istilah “pengempokan air” berarti tempat berkumpulnya air. Kata ini berasal dari dua suku kata: empok (kumpul) dan aik (air). Secara harfiah berarti mata air—sumber yang memancar, mengalir, dan menghidupkan sekitarnya.

Secara filosofis, Pancor disebut sebagai pengempokan air karena dari sinilah mengalir berbagai nilai, ilmu, dan ruh perjuangan yang menyuburkan kehidupan umat.

Dari Pancor, lahir lembaga pendidikan legendaris seperti NWDI, NBDI, dan Darunnahdlatain, yang menjadi embrio dari ribuan madrasah di seluruh Indonesia.

Di balik sejarah itu, berdiri tokoh sentral: Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Perjuangannya diibaratkan seperti air.

Ia tidak diam, tidak memilih tempat, dan tidak pilih kasih dalam mengalirkan manfaat. Ilmunya menjangkau semua kalangan, lintas batas sosial maupun geografis.

“Sumber memang penting, tapi aliranlah yang menandakan sumber itu hidup,” tulis Sayuti Hamdani, QH., M.A dalam refleksi rohaninya.

Karena itulah, keberadaan Pancor bukan untuk disakralkan sebagai tempat diam, tapi sebagai poros gerakan yang terus mengalir.

Para santri, kader, dan jamaah dididik untuk menjadi aliran—membawa nilai keikhlasan, pengabdian, dan keberkahan ke tempat-tempat paling jauh dan kering secara spiritual.

Momen Hari Ulang Tahun Lahir (HULTAH) Nahdlatul Wathan menjadi titik temu tahunan seluruh “aliran”. Para alumni, jamaah, dan simpatisan kembali ke Pancor bukan hanya untuk bersilaturahmi, tetapi juga memperbarui hubungan batin dengan sumber nilai yang sama.

HULTAH bukan sekadar acara tahunan. Ia adalah pulang kampung spiritual, tempat di mana rumah warga terbuka bukan karena formalitas, melainkan karena cinta. Pancor pun menjelma menjadi desa ukhuwah, tempat semua tamu dianggap keluarga.

Namun, sebuah sumber bisa saja tercemar. Air bisa kering jika tidak dijaga. Karena itu, menjaga Pancor berarti menjaga nilai yang dilahirkannya: keikhlasan, kesederhanaan, dan semangat pengabdian.

Bukan sekadar mempertahankan lembaga, tapi memastikan bahwa ruh perjuangan tetap hidup dan terus mengalir.

Sayuti Hamdani menekankan bahwa warga Nahdlatul Wathan bukan hanya pewaris bangunan dan institusi, tapi pewaris ruh. Ruh itu tidak bisa diam.

Ia harus mengalir. Dan mengalir berarti menyebarkan nilai ke manapun kaki berpijak—ke madrasah, sekolah umum, podium dakwah, kantor, ladang, pasar, bahkan ke ruang digital seperti media sosial.

“Karena aliran tak mengenal batas. Dan keberkahan tidak boleh mandek di satu tempat,” tegasnya.

Pancor adalah pengempokan air. Dari air tumbuh kehidupan. Dari Pancor tumbuh peradaban. Siapa pun yang mencintainya, tidak cukup hanya berada di dekat sumbernya.

Mereka harus menjadi penyambung—mengalirkan keberkahan, membawa nilai perjuangan, dan menumbuhkan kehidupan di mana pun berada.

Catatan Redaksi:  Artikel ini ditulis berdasarkan refleksi Sayuti Hamdani, QH., M.A, yang disarikan dan disesuaikan untuk pembaca PorosLombok.com dengan gaya penyampaian media ini.

(*/PorosLombok)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERBARU

IKLAN
TERPOPULER