Oleh: Taufik Akbar, SH
–––––––––––––
OPINI – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI kembali membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Bukan soal hasil pemilu yang disengketakan, bukan pula karena logistik yang amburadul.
Kali ini, sorotan mengarah pada keputusan tergesa-gesa KPU RI melantik Pengganti Antar Waktu (PAW) anggota KPU Lombok Timur, padahal gugatan dari komisioner sebelumnya masih berjalan di pengadilan.
Kejadian ini tidak bisa dianggap remeh. Di satu sisi, KPU adalah lembaga negara yang harus menunjukkan netralitas dan menjunjung tinggi proses hukum. Namun di sisi lain, langkah mereka justru mencederai prinsip keadilan dan asas praduga tak bersalah.
Pertanyaan besar langsung muncul: Mengapa KPU RI terburu-buru? Apakah ada desakan politik di balik pelantikan ini? Atau KPU begitu yakin proses hukum tidak akan memenangkan pihak penggugat? Semua pertanyaan itu kini menggantung di benak publik.
Dari perspektif hukum, tindakan KPU RI membuka ruang polemik yang luas. Gugatan terhadap pemberhentian komisioner lama jelas menyoal legalitas proses.
Ketika proses hukum belum selesai, melantik PAW bisa diartikan sebagai bentuk intervensi terhadap pengadilan.
Lebih dari itu, ini juga bisa dianggap sebagai pengabaian terhadap prinsip keadilan. Sebab, bagaimana bisa satu pihak dilengserkan secara administratif, sementara haknya sedang diuji di lembaga peradilan? Ini bukan hanya soal etika, tapi menyangkut integritas kelembagaan.
Demokrasi yang sehat menempatkan hukum sebagai panglima. Namun, dalam kasus ini, justru hukum tampak seperti alat legitimasi politik. KPU RI seolah bermain dalam irama yang ditentukan oleh kekuatan tertentu, bukan oleh konstitusi dan akal sehat.
Pelantikan PAW di tengah proses gugatan tak ubahnya sebuah pertunjukan. Sayangnya, bukan pertunjukan edukatif yang mendewasakan publik, tapi lebih menyerupai dagelan politik yang menyisakan luka hukum. Penonton—yakni rakyat—hanya bisa menyaksikan sambil mengernyitkan dahi.
Ironi ini makin terasa jika kita melihat latar belakang gugatan tersebut. Komisioner lama jelas memperjuangkan haknya atas dasar hukum. Tapi langkah KPU seolah mematahkan semangat itu dengan satu keputusan yang tak memberi ruang keadilan bekerja secara utuh.
Kita sebagai warga negara hanya bisa menyikapi ini dengan dua cara: diam atau bersuara. Diam berarti membiarkan demokrasi dicemari, bersuara berarti menegaskan bahwa hukum tidak boleh dikangkangi, apalagi oleh institusi yang seharusnya menjaganya.
Lalu bagaimana dengan nasib gugatan itu? Apakah akan berakhir dengan keadilan? Ataukah hanya jadi dokumen yang berdebu di meja hakim? Harus kita akui, di negara ini keadilan kerap datang terlambat, bahkan kadang tak sempat datang sama sekali.
Namun, kita tidak boleh kehilangan harapan. Demokrasi membutuhkan suara kritis. Hukum membutuhkan pengingat bahwa ia harus tegak lurus, bukan bengkok karena tekanan.
Pelantikan PAW KPU Lotim ini adalah pelajaran pahit. Sebuah pengingat bahwa lembaga negara pun bisa salah langkah jika tidak dikawal. Publik, media, dan masyarakat sipil harus tetap bersuara, demi menghindari preseden buruk ke depan.
Bila praktik seperti ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin hukum akan terus diinjak-injak atas nama efisiensi atau kepentingan politik. Kita butuh pengadilan yang tegas, dan hakim yang punya keberanian menegakkan kebenaran.
Kita menaruh harapan pada para hakim. Bahwa mereka tak hanya membaca pasal dan ayat, tetapi juga menangkap semangat keadilan yang hakiki. Kepadanyalah harapan itu bertumpu. Bukan untuk kemenangan pribadi, tapi demi tegaknya demokrasi yang tidak terciderai.
(*/PorosLombok)
- Catatan Redaksi Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi PorosLombok.com hanya mengemas dan menyajikannya sesuai dengan gaya penulisan kami tanpa mengubah substansi dan sudut pandang penulis.



















