Lotim, POROSLOMBOK – Kebijakan Bupati Lotim, H.M.Sukiman Azmy untuk mendorong BUMDes sebagai supplier Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) tak sepenuhnya mendapatkan dukungn dari semua pihak. Hal itu terjadi karna adanya perbedaan persepsi, disamping juga karna adanya kepentingan masing-masing. Hal itu diungkapkan Ketua Gumi Paer Lombok, L. Junaidi, kepada awak media di Selong, Jumat (4/12/20).
Kalau saja dilakukan pemahaman secara seksama, menurut dia, untuk 20 BUMDes ( Badan Usaha Milik Desa ) yang ada disetiap desa/kelurahan yang didorong untuk menjadi supplier, adalah suatu terobosan yang nantinya akan bermuara kepada kemaslahatan rakyat.
“Kalimat didorong dengan ditunjuk itu harus dibedakan, dan itu pun hanya ujicoba. karena kekisruhan yang muncul akibat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya rakyat sebagai penerima manfaat jadi korban. tentunya, sebagai pemimpin rakyat, tidak ingin melihat rakyatnya yang dijadikan komoditas dan dijadikan korban,”ujarnya.
Soal kecemburuan desa lain yang BUMDesnya tidak dijadikan sebagai uji coba, lanjut dia, harusnya perlu melakukan kilas balik, pernahkah mengusulkan atau menyampaikan aspirasi.
“Jangan karena mendengar ada bantuan, lantas teriak. Dan parahnya, dilambari oleh kepentingan tertentu, sehingga terjadi gagal paham,”ketusnya.
Ia menambahkan, kebijakan itu diambil, disamping untuk menjawab aspirasi rakyat juga supaya terjadi perputaran ekonomi di desa. Dan yang tak kalah pentingnya, nilai pemberdayaan dan interaksi sosial antar masyarakat, sehingga rakyat merasa diperankan dalam setiap program pembangunan.
Terkait kebijakan anggaran dengan bantuan permodalan sebesar Rp.50 juta kepada BUMDes itu, papar L. Junaidi, tentunya sudah memiliki dasar hukum yang jelas, termasuk PP No 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pengelolaan Keuangan Daerah diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketentuan Pasal 293 dan Pasal 330 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dengan jelas memberikan amanat untuk mengatur Pengelolaan Keuangan Daerah dengan sebuah Peraturan Pemerintah.
“Itu pun sudah melalui perdebatan yang panjang dengan para wakil rakyat. Jadi, jangan karena kepentingan para oknum, lantas kita memberikan persepsi dengan aturan dan ketentuan yang keliru, sehingga aturan dan ketentuan, yang bahkan secara hierarki hukum lebih tinggi, menjadi terabaikan. Jangan setengah-setengah dan karena kepentingan tertentu, kita langsung teriak, Ini yang seringkali menjadikan kegagalan dalam memahami dan menyikapi suatu persoalan. sehingga terjadi suatu kekeliruan yang fatal” tegasnya.
Setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah ( eksekutif dan legislatif ), masih kata dia, sudah mempunyai dasar hukum yang jelas. Dan tentunya pemerintah sudah siap dengan segala resiko yang muncul akibat keputusan itu. Menurutnya, Hal yang mustahil kalau kebijakan itu tidak berpihak kepada keadilan dan bermuara pada kepentingan rakyat secara keseluruhan.
” Hukum itu pada rohnya adalah keadilan sosial dan berlaku pada seluruh rakyat, bukan pada oknum tertentu,” sebutnya.
Karena hukum berlaku sama dan untuk seluruh elemen masyarakatnya, tambah L. Junaidi, mestinya pemahaman terhadap hukum itu juga sama, bukan mengemukakan persepsi yang berbeda karena adanya kepentingan tertentu.
“Jangan karena ada kepentingan, lalu seenaknya kita memberikan persepsi berdasarkan kepentingan kita. Parahnya lagi, kalau kita sudah salah memahami, lalu ngotot sendiri, sehingga pada akhirnya akan mengambil langkah yang keliru. Ujung-ujungnya, mereka sendiri yang rugi. Pada akhir cerita, yang kita salahkan dan protes adalah pemerintah, padahal kesalahan yang dilakukan adalah akibat kekeliruan mereka sendiri,” demikian L. Junaidi menjelaskan. (ns).