close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

28.4 C
Jakarta
Minggu, Desember 8, 2024

Lalu Malik Hidayat: Penggunaan pakaian Adat di Lombok Timur Belum Singkron dengan Pemahaman budaya (bagian-1)

Oleh : Lalu Malik Hidayat, S.Pd.

(OPINI) – Penggunaan pakaian adat di Lombok Timur, khususnya dalam masyarakat Sasak, kini menjadi sorotan. Kebijakan pemerintah daerah yang mendorong penggunaan pakaian adat ini diterapkan di berbagai sektor, mulai dari pendidikan hingga dunia kerja. Langkah ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang mendorong pengembangan budaya di berbagai aspek. Namun, penerapan kebijakan ini tidak luput dari kritik.

Dalam penerapan kebijakan ini, banyak yang menilai bahwa terdapat sejumlah aspek yang terabaikan. Acara kebudayaan memang semakin marak, tetapi dukungan untuk pemahaman budaya yang lebih mendalam masih diperlukan. Budaya seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi acara dan formalitas. Esensi dari budaya itu sendiri sering kali terpinggirkan. Jika kita berbicara tentang budaya, kita berbicara tentang seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Nilai-nilai mendasar yang ada dalam budaya Sasak sering kali terabaikan. Ada pandangan bahwa budaya Sasak belum sepenuhnya berdiri sendiri dan masih sering dianggap sebagai bagian dari kebudayaan Bali. Hal ini terjadi karena terputusnya transformasi nilai dan bentuk budaya dari generasi ke generasi. Kondisi ini mengakibatkan adanya variasi pemahaman dan kecenderungan meniru budaya lain.

Sebagai contoh, dalam penggunaan pakaian adat atau tradisi lainnya, kita sering kali lebih condong meniru budaya luar. Padahal, budaya Sasak seharusnya berdiri dengan konsep kebudayaannya sendiri. Setiap daerah memiliki cara pandang yang berbeda, termasuk budaya Sasak. Prinsip “Endeq dengan Sasak mun dek Islam” menegaskan bahwa tidak ada tradisi budaya Sasak yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Baca Juga :  Gawe Adat Inan dowe, Upaya Bangkitkan Kembali Anyaman Bambu Desa Loyok

Prinsip hidup masyarakat Sasak meliputi “Tindih” yang berarti patuh pada aturan. Selain itu, ada “Maliq” yang berarti pantang melanggar aturan, dan “Likat Napaq” yang menggambarkan kemampuan menempatkan diri dengan tepat. Prinsip ini seharusnya menjiwai kehidupan masyarakat Sasak. Prinsip-prinsip ini menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari.

Saling membela, atau “Merang”, juga menjadi prinsip penting dalam masyarakat Sasak. Prinsip ini mengedepankan solidaritas antara kerabat, keluarga, dan masyarakat. “Tao-Tao Polo Sukur, Ceket-Ceket Polo Sabar” menekankan pentingnya rasa syukur dan kesabaran. Prinsip-prinsip ini sangat penting untuk dipahami dan diterapkan. Nilai-nilai ini menjadi bagian dari identitas budaya Sasak.

Dalam konteks penggunaan pakaian adat, banyak yang menyoroti pergeseran makna dari yang sebenarnya. Penggunaan pakaian adat tidak hanya di kalangan birokrasi, tetapi juga di masyarakat umum telah bergeser dari makna tradisionalnya. Ini menyebabkan hilangnya makna dalam penggunaan pakaian adat. Di sebagian besar masyarakat Sasak, khususnya di Lombok Timur, masih banyak yang belum memahami cara memakai pakaian adat yang benar.

Baca Juga :  Pasca Kebakaran, Akhir Tahun ini Obyek Wisata "Dende Seruni" Akan di Buka Kembali

Lebih dari itu, banyak yang belum memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam pakaian adat itu sendiri. Hal ini penting untuk ditangani agar nilai-nilai budaya tetap terjaga. Bagi orang Sasak, konsep “Bewacan Manis, Betingkah Alus, Beradap Tindih” adalah panduan dalam berperilaku sehari-hari. Konsep ini menekankan pentingnya sikap santun, perilaku yang terpuji, dan penggunaan pakaian adat yang benar.

Ketika apa yang melekat dalam diri kita mewarnai jiwa, termasuk penggunaan pakaian adat. Penting bagi kita untuk tidak hanya melihat budaya dari sisi luar saja. Inti dari budaya adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami dan menerapkan nilai-nilai ini, kita dapat menjaga budaya agar tetap hidup dan relevan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya bukan hanya tentang penampilan, tetapi juga tentang esensi.

Penggunaan pakaian adat seharusnya tidak hanya menjadi formalitas. Lebih dari itu, pakaian adat harus dimaknai sebagai bagian dari identitas dan jati diri masyarakat Sasak. Masyarakat perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya memaknai pakaian adat secara mendalam. Ini adalah bagian dari usaha melestarikan budaya. Dengan begitu, kita bisa menjaga warisan budaya tetap hidup.

Mari kita jaga dan lestarikan budaya kita dengan pemahaman yang lebih baik. Pendekatan yang lebih mendalam dan edukatif perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan lembaga pendidikan harus bekerja sama. Upaya ini penting agar budaya Sasak dapat berkembang. Budaya adalah identitas yang harus selalu dijaga.

Baca Juga :  Membuka Tabir Wetu Telu Di Desa Pengadangan

Dengan memahami nilai-nilai di balik pakaian adat, masyarakat bisa lebih menghargai warisan budayanya. Pakaian adat bukan sekadar hiasan, melainkan simbol dari nilai-nilai luhur. Nilai-nilai ini harus terus diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebuah budaya yang kuat akan menciptakan masyarakat yang kuat pula. Nilai-nilai budaya adalah fondasi yang kokoh bagi kehidupan masyarakat.

Tantangan terbesar adalah memastikan transformasi nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Pendidikan dan sosialisasi menjadi kunci dalam menjaga keberlangsungan budaya. Generasi muda harus dibekali dengan pemahaman yang benar tentang budaya mereka. Dengan demikian, mereka dapat menjadi pelestari budaya yang bersemangat. Masa depan budaya Sasak ada di tangan mereka.

Pada akhirnya, budaya adalah cerminan dari identitas suatu masyarakat. Penggunaan pakaian adat yang benar mencerminkan penghargaan terhadap budaya itu sendiri. Mari kita terus berupaya menjaga, melestarikan, dan mengembangkan budaya Sasak. Dengan pemahaman yang lebih baik, kita bisa memastikan budaya ini tetap hidup. Budaya yang kuat adalah kunci menuju masyarakat yang lebih baik.

(Arul/PorosLombok)

TERPOPULER

IKLAN
Berita terbaru