PorosLombok.com – Malam menggantung tenang di langit Selong ketika aroma kepiting bakar mulai mencuri perhatian pengunjung Festival Muharram 1447 Hijriah.
Di tengah deretan tenda berlampu redup, suara wajan mendesis bersahut dengan lantunan musik religi. Panggung rakyat mulai berdetak.
Di balik lapak sederhana itu berdiri Safwan, 38 tahun. Kausnya basah oleh keringat, wajahnya kelelahan, tapi matanya berbinar. Ia mengaduk saus pedas manis di atas kompor gas kecil yang sudah lekat jelaga. Bukan restoran, bukan foodcourt. Hanya meja plastik dan keyakinan.
“Biasanya, kalau dapat seratus lima puluh ribu sehari sudah syukur. Tapi di sini, semalam hampir lima ratus,” ujarnya lirih, seolah masih tak percaya.
Tak jauh dari sana, Tedi, 26 tahun, sibuk membolak-balik tusukan sempol di minyak panas. Pemuda dari Kelayu itu membawa sempol buatan ibunya sendiri. Dulu ia menitipkan dagangan di warung-warung, kini ia berdiri langsung di depan pembeli.
“Saya pikir awalnya cuma rame pas pembukaan. Tapi ternyata tiap malam laku,” katanya, tersenyum malu-malu.
Festival Muharram yang digelar tujuh hari penuh ini menghadirkan puluhan pelaku UMKM lokal. Mereka datang tanpa papan nama besar, tanpa modal promosi, tapi membawa rasa yang jujur dan usaha yang lama terpinggir.
Di sinilah warung kecil mendapat ruang yang sama dengan kafe besar. Di sinilah orang-orang seperti Safwan dan Tedi berdiri sejajar, tanpa dibayangi branding atau sponsor.
Mereka tidak punya brosur. Tidak tahu algoritma media sosial. Tapi dari dapur sederhana mereka membawa sesuatu yang lebih kuat: ketekunan, keberanian, dan mimpi yang tak pernah mati.
Bagi Safwan, ini bukan hanya tentang jualan. Ini tentang harga diri. Tentang merasa dianggap. “Biasanya saya hanya jualan di pinggir jalan, kadang diusir. Di sini, saya dihormati,” ucapnya.
Festival ini memang terasa lain. Di antara tausiyah singkat dan hiburan islami, tenda-tenda UMKM menjadi pusat perhatian. Bukan sekadar pelengkap, tapi nadi utama dari kemeriahan yang hidup.
Pembeli berdatangan bukan hanya untuk belanja, tapi juga memberi dukungan. Seorang ibu memborong tiga bungkus sempol sambil berkata, “Saya senang beli dari mereka. Rasanya tulus.”
Pemerintah Kabupaten Lombok Timur membuka festival ini tanpa pungutan bagi pedagang. Tidak ada syarat rumit, tidak ada seleksi berlapis. Siapa saja bisa mendaftar, siapa pun boleh hadir.
“Terima kasih untuk Bapak Bupati dan Wakil Bupati. Kalau bukan karena mereka, kami tetap di pinggir jalan,” ucap Tedi, pelan tapi pasti.
Beberapa pedagang bahkan mengaku baru mulai berjualan sejak festival ini dibuka. Ada yang mencoba jualan minuman herbal, ada pula yang membawa keripik kelapa buatan anaknya.
Lapangan yang biasanya kosong berubah menjadi pasar malam yang hidup. Anak-anak berlarian, suara tawa mengalir, dan di setiap sudut, wajan-wajan kecil menyalakan harapan yang lama padam.
Di balik setiap lapak, ada cerita tentang ibu yang ingin membantu suami, tentang pemuda yang ingin keluar dari pengangguran, tentang orang kecil yang hanya butuh satu hal: kesempatan.
Dan ketika kesempatan itu datang, mereka tidak menyia-nyiakannya. Beberapa pedagang mulai menabung, ada yang memesan ulang bahan dagangan, dan ada yang mulai merancang nama merek.
“Ini bukan akhir. Saya ingin lanjut buka stand sendiri nanti. Saya sudah percaya diri sekarang,” kata Tedi.
Festival akan usai dalam hitungan hari. Tenda akan dibongkar. Kompor akan dimatikan. Tapi semangat yang menyala tak akan mudah padam.
Sebab malam-malam seperti ini telah membuktikan satu hal: yang kecil juga ingin hidup. Yang sederhana juga layak tumbuh. Dan yang nyaris tak terlihat pun sesungguhnya bisa menjadi terang, jika diberi ruang.
(arul/PorosLombok)