close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

27.9 C
Jakarta
Minggu, Desember 28, 2025

Pancor dan Kekhasannya

(PorosLombok.com)– Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid dikenal memiliki visi berbeda saat mendirikan Pondok Pesantren Darunnahdlatain di Pancor, Lombok Timur.

Alih-alih membangun asrama terpusat seperti pondok pesantren pada umumnya, Maulana Syaikh memilih model pesantren yang membaur dengan kehidupan kampung.

“Pesantren bukan sekadar bangunan tempat santri tidur dan belajar, tapi ekosistem kehidupan,” ujar Sayuti Hamdani, QH.M.A., alumni Angkatan 43 MDQH NW Pancor.

Menurutnya, model ini menjadikan rumah-rumah warga sebagai tempat tinggal santri. Dengan cara itu, warga tak lagi hanya menjadi tetangga pesantren, tetapi turut berperan sebagai keluarga yang mendampingi santri dalam kehidupan sehari-hari.

Warga bukan hanya mendapat pemasukan dari sewa kamar dan kebutuhan harian para santri, tetapi juga memperoleh manfaat spiritual.

Santri ikut mengajar anak-anak mereka mengaji, menjadi imam salat di mushalla, dan menjadi teman diskusi keagamaan bagi orang tua.

Bahkan, tidak sedikit hubungan antara santri dan ibu kos berkembang seperti anak dan orang tua. Banyak juga santri dari luar daerah yang kemudian menikah dengan anak wali kos atau warga sekitar.

Model ini menciptakan peran sosial yang kuat. Warga menjadi pengawas moral, penjaga akhlak, dan pelindung para santri.

Santri pun merasa kampung tempat tinggal mereka adalah rumah besar yang harus dijaga dan dihormati.

Namun, Sayuti menyayangkan, belakangan ini pembangunan asrama di sejumlah pesantren justru lebih didorong oleh pertimbangan bisnis. Ketika warga tidak dilibatkan, kontrol sosial menghilang.

“Kalau warga tidak merasa memiliki, maka tidak ada pengawasan. Akhirnya santri mudah terpapar pergaulan bebas dan kecanduan digital,” tegasnya.

Beberapa madrasah di lingkungan Darunnahdlatain kini mulai membangun asrama yang terintegrasi dengan sistem akademik dan pembinaan ruhani.

Langkah ini dinilai strategis di tengah kondisi sosial masyarakat yang mulai kehilangan kontrol nilai.

Meski begitu, Sayuti menekankan bahwa pembangunan asrama sebaiknya tidak membuat pesantren kehilangan ruh sosialnya.

“Pesantren tidak cukup dibangun dengan beton dan pagar. Ia harus dihidupi dengan cinta, dijaga oleh warga, dan dipelihara oleh rasa memiliki bersama,” ujarnya.

Ia menilai warisan Maulana Syaikh Zainuddin adalah warisan kultural yang menyatukan pendidikan ruhani dan keterlibatan sosial.

Santri tidak dijauhkan dari masyarakat, justru dipersiapkan untuk hidup bersama mereka.

“Dari situ lahir kader ulama yang tidak hanya alim dalam kitab, tapi juga matang secara sosial dan spiritual,” pungkas Sayuti.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan pemikiran Sayuti Hamdani, QH.M.A., alumni Angkatan 43 MDQH NW Pancor. Pandangan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan opini narasumber. Redaksi menyajikannya sebagai kontribusi intelektual untuk memperkaya wacana pendidikan pesantren berbasis masyarakat.

(*/PorosLombok)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERBARU

IKLAN
TERPOPULER