Mengenal Budaya Merari’, antara Strata Sosial dan Pisuke Suku Sasak

0
611

POROSLOMBOK: Dalam adat sasak, perkawinan sering disebut merari’. Secara etimologi kata merari’ diambil dari kata” lari “. Kawin lari adalah sistem adat pernikahan yang masih ditetapkan di Lombok. Secara terminologi, merari’ berasal dari kata sasak “ merari” yang artinya berlari. Mengandung dua arti : pertama, lari Ini adalah arti yang sebenarnya . kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya ( Tim departemen pendidikan dan kebudayaan, 1995:33).

Merari’ sebagai tradisi yang biasa berlaku pada suku sasak memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarakat sasak, merari’ berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang laki-laki sasak, karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung resisten, kalau tidak dikatakan menolak untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa atau konvensional. Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa maka akan dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga.

Strata social yang menemukan seseorang atau kelompok orang pada posisi yang berbeda yaitu antara lebih rendah dan tinggi. Bagi masyarakat Lombok strata social tersebut aplikasinya terwujud dalam bentuk ada disebut golongan ningrat ( menaq) golongan kedua adalah pruangse dan ketiga adalah golongan bulu ketujur.Antara ketiga golongan ini dalam pelaksanaan perkawinan golongan kedua dan ketiga tidak ada pembatasan tetentu untuk saling mengawini. Sedangkan kedua golongan ini dengan golongan yang pertama yang status sosialnya lebih tinggi ini tidak diperbolehkan kawin dengan laki-laki dari golongan kedua dan ketiga di atas.

Dalam masyarakat Lombok, umumnya perempuaan dari golongan ningrat tidak diperbolehkan kawin dengan laki-laki dari golongan pruangse terlebih dengan laki-laki bulu ketujur. Perkawinan perempuan ningrat dengan laki-laki dari golongan pruangse atau dengan mereka dari golongan bulu ketujur menurut adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat sasak tidak dibenarkan sama sekali. Kalau saja hal ini sampai terjadi sebagai konsekuensinya perempuan ningrat tersebut tidak diakui lagi dan tidak diperbolehkan lagi kembali kerumah keluarganya dan di anggap tidak ada hubungan kekeluargaan dengan ibu bapak dan keluarganya. Tetapi sebaliknya apabila terjadi perkawnan antara laki-laki ningrat dengan perempuan yang bukan dari golongannya keadaan ini bukan merupakan suatu masalah yang berarti serta keturunannya tetap dianggap sebagai ningrat. Ini realita yang masih dapat disaksikan dalam masayarakat Lombok.

Adanya keterbatasan perkawinan dari golongan ini dimaksudkan untuk mempertahankan garis keturunan agar dapat tetap berada pada status social. Disamping itu untuk mempertahankan agar harta warisan tetap bekisar di sekitar keluarga pada garis keturunan tadi. Terhadap adat yang diberlakukan bagi golongan pertama terhadap kedua golongan yang lainnya maka timbul aksi protes dari golongan kedua dan ketiga. Kedua golongan ini tidak mau diperlakukan sebagaimana aturan yang dipedomani golongan pertama. Mereka tetap memegang asas kebebasan bahwa penentuan jodoh adalah otoritas setiap orang yang ingin melaksanakan perkawinan. Aksi protes itu muncul dalam bentuk sepakat lari untuk kawin.

Disamping mereka tidak mau diperlakukan demikian oleh kelompok yang menamakan dirinya golongan ningrat yang memberikan kebebasan bagi laki-laki dari golongannya untuk mengawini perempuan yang bukan dari golongannya dan tidak demikian sebaliknya, maka terhadap sikap yang demikian kedua golongan ini merasa direndahkan statusnya. Kenyataan ini terbukti dengan adanya idiom-idiom yang dilontarkan masyarakat sasak Lombok seperti “ marak dengan jual beli manuk “ (seperti jual beli ayam ). Artinya perkawinan yang dilakukan dengan jalan meminta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sama artinya merendahkan status social pihak perempuan. Mereka tidak mau diposisikan sebegitu redah karena permintaan yang dilakukan oleh pihak golongan pertama terhadap golongan kedua dan ketiga. Untuk tidak terjadinya sikap seolah-olah meremehkan itu perkawinan harus dengan cara membawa lari (merari’). Pelaksanaan perkawinan dengan cara ini menurut masyarakat Lombok status harga dirinya tetap terpercaya.

Namun Terjadinya kawin lari selalu berlanjut ke proses menawar pisuke. Proses nego berkaitaan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara merari’ yang kental dengan nuansa bisnis. Masyarakat suku sasak memberatkan pihak laki-laki dalam pembayaran pisuke yang dalam kecendrunganya pihak laki-laki lebih dipaksa oleh pihak perempuan untuk pembayaran pisuke. Apapun alasannya pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat bahwa seorang wali merasa telah membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang yang tidak sedikit. Sabagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi pendidikan dan tinggi social anak dan orang tua semakin tinggi pula tawar menawar sang gadis. Sebaliknya semakin rendah tingkat social dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.

Dari beberapa perbedaan ini terlihat bahwa terkadang budaya lebih memberatkan satu pihak saja. Hal ini terjadi karena budaya cendrung menguasai masyarakat sehingga dalam kehidupan sosialnya apabila masyarakat tidak menjalankan budaya tersebut (merari’) akan timbul beberapa masalah social seperti dikucilkan oleh masyarakat pada umumnya. Adapun hal-hal yang harus dilakukan untuk menjalankan tradisi merarik dalam biasanya antara tradisi dan islam yaitu:

  • Dalam pembayaran pisuke pihak dari keluarga perempuan tidak memberatkan pihak laki-laki hal ini untuk menjaga keharmonisan dari hubungan kedua keluarga tanpa ada pihak yang merasa di rugikan.
  • Masyarakat tidak perlu terlalu membedakan strata social yang bisa merugikan satu sama lain

Sumber :

M.Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat: Antara islam dan tradisi : Edisi pertama , April 2013

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini